Musik Gamelan
Sejarah
Seni Musik
Gamelan Keberadaan gamelan ketika itu dibuktikan
oleh penyebutan nama-nama instrumen gamelan. Instrumen gamelan yang sangat umum
dan banyak disebut-sebut dalam berbagai sumber adalah kelompok idiophone dan
membranophone. Kelompok aerophone dan chordophone juga disebut meskipun tidak
begitu banyak. Ensambel gamelan pada saat itu masih cukup sederhana, terutama
sekali adalah 'musik keras'. Instrumen gamelan kelompok idiophone adalah:
tuwung, curing, regang, brekuk, bungkuk, kangsi. Sedangkan untuk kelompok
membranophone adalah: padahi, muraba, pataha, mardala, murawa, bahiri,
mrdangga, dan kendang. Kelompok aerophone adalah: sangkha, kahala, atau
sangkhakala, suling. Kelompok chordophone adalah: lawuwina, winarawanashasta,
rawanahasta. Masih ada beberapa istilah atau nama instrumen musik yang belum
begitu jelas seperti mudhama, panawa, tala, bangsi. Tala mungkin sekali sejenis
simbal. Panawa merupakan jenis kendang dan bangsi adalah suling (Kunst,
1968:85). Istilah bangsi di tempat lain disebut wangsi; dalam bahasa Sanskerta:
vamsi berarti suling atau bambu. Istilah ganding masih belum jelas pula. Dalam
beberapa prasasti ka 'ganding' selalu diikuti dengan kata 'rawanahasta'. Di
dalam prasasti Mantyasih III disebut dengan 'maganding', sebagai kata kerja
aktif yang berarti 'memainkan ganding'. Oleh karena itu istilah 'ganding'
tentunya menunjuk pada nama instrumen musik seperti terlihat dalam konteks
kalimat dalam prasasti Paradah yang menyebut nama instrumen gemelan: "tuwung,
bungkuk, ganding, rawanahasta". Kata 'gendhing' dalam bahasa Jawa baru
menunjuk pada komposisi lagu pada karawitan, dapat pula berarti gamelan secara
umum seperti tampak pada toponim Gendhingan sebagai nama desa tempat para
pembuat gamelan (Jacobson & Hasselt, 1975). Adapun kata 'rawanahasta' atau
'rawanasta' secara harafiah sering didahului dengan kata 'wina' (alat musik
petik). Di India 'ravanahasta' adalah alat musik petik (Kunst, 1968:17). Cukup
menarik perhatian bahwa dalam prasasti Tajigunung 910 M disebutkan adanya
'panday arawanasta' yang berarti 'pembuat alat musik 'rawanasta' yang termasuk
sebagai anggota 'sang mangilala drabya haji'. Hal ini berarti bahwa pada abad X
instrumen musik kecapi sudah dibuat di Jawa. Di dalam prasasti Mantyasih III
disebutkan bahwa 'maganding' dan 'rawanahasta' dimainkan oleh orang yang
berbeda: 'maganding' oleh si Krsni (dengan tanda panjang pada vokal i) menunjuk
pada nama wanita. Dalam bahasa Jawa kuno, kata 'wina' kadang diterjemahkan
sebagai 'seruling' (Wojowasito, 1977). Namun demikian karena konteksnya dengan
kata 'lawu' – Lawuwina, maka yang dimaksudkan tentunya kecapi dengan resonator
berbentuk seperti buah labu. Nama curing ternyata hanya dijumpai dalam prasasti
dari tahun 840 M dan 847 M. Sesudah masa- masa tersebut sampai akhir abad X
'curing' tidak pernah disinggung keberadaannya. Pada hal, nama gamelang
'culuring' sekarang ada di kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Nama curing
disebut lagi pada masa-masa abad XII. Kunst (1968:52) berpendapat bahwa 'curing'
dan 'tuwung' adalah alat musik yang sama (sinonim). Memang di dalam prasasti
'curing' dan 'tuwung' tidak disebut bersama-sama dalam satu prasasti. Demikian
pula barangkali antara 'brekuk' (prasasti
Panggumulan 902 M dan prasasti Lintakan 919 M) dan 'bungkuk' (prasasti Paradah
943 M) juga penyebutkan untuk instrumen gamelan yang sama karena kedua
instrumen tersebut tidak pernah disebut bersamaan. Kunst (1968:63) berpendapat
bahwa baik 'brekuk' maupun 'bungkuk' adalah jenis kenong atau kemong. Berikutnya
yang perlu dibahas adalah kendang. Kata 'kendang' baru muncul pertama kali
dalam sumber tertulis sekitar abad X akhir. Namun bukan berarti bahwa instrumen
kendang baru muncul pada abad X. Pada masa klasik awal (tahun 821 M) instrumen
jenis kendang sudah disinggung dalam prasasti dengan nama 'padahi'. Bahkan jauh
sebelum itu, yaitu pada masa prasejarah instrumen jenis kendang sudah ada
(Haryono, 1986). Istilah 'padahi' (atau padaha, pataha) cukup populer pada masa
Jawa kuno terbukti dari 14 prasasti menyebut padahi semua (sampai abad X).
Sementara itu istilah 'muraba' dan 'mradangga' hanya disebut sekali. Kedua
istilah tersebut berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata 'mrd' yang
berarti 'tanah'. Di dalam kitab Ramayana selain dijumpai kata 'murawa' juga ada
'mrdala' dan tampaknya berasal dari akar kata yang sama. Di India kendang yang
paling umum dan bentuk paling kuno dinamakan 'mridangga' atau 'mardala'. Dalam
mitologi kendang bentuk mridangga diciptakan oleh dewa Brahma untuk mengiringi
tarian dewa Siwa ketika berhasil mengalahkan raksasa Trusurapura (Popley,
1950:123; Haryono, 1986).9 Di dalam kitab Wirataparwa disebutkan 'Bheri
mrdangga', juga 'Bheri-murawa'. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa bheri
atau bahiri adalah termasuk jenis kendang atau genderang. Instrumen gamelan
seperti diuraikan di muka kadang-kadang secara umum disebut dengan istilah
'tabetabehan' (bhs. Jawa baru: tetabuhan). Di dalam kitab Wirataparwa selaian
tabehtabehan juga disebut
'waditra' (bahasa Sanskrta). Di India instrumen
musik secara keseluruhan disebut 'vaditra'. Vaditra dibedakan menjadi 5 kelas
(Walker, 1983:88). a. tata = instrumen gesek
b. betat = instrumen petik
c. sushira = instrumen tiup
d. dhola = kendang e. ghana = instrumen pukul
Adapun ritmennya (irama) dalam musik India
dibakukan dengan menggunakan pola tala yang dilakukan dengan kendang (drum).
Irama itu sendiri di India disebut laya yang dibagi menjadi 3 yaitu: druta
(cepat), madhya (sedang) dan lamban (vilambita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
yg beri koment dpt phala bsar!!aminn,,hehe :)
jgn spam ya,pliss