Secara internasional, HAM termasuk kedalam sistem hukum internasional (dibentuk
oleh masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara). Negara
mempunyai peranan penting dalam membentuk sistem hukum tersebut melalui
kebiasaan, perjanjian internasional, atau bentuk lainnya seperti
deklarasi maupun petunjuk teknis. Kemudian negara menyatakan
persetujuannya dan terikat pada hukum internasional tersebut. Dalam HAM, yang dilindungi dapat berupa individu, kelompok atau harta benda. Negara atau pejabat negara sebagai bagian dari negara mempunyai kewajiban dalam lingkup internasional untuk melindungi warga negara beserta harta bendanya.
Standar
HAM Internasional dibentuk dan dikembangkan dalam berbagai forum
internasional. Proses pembentukan standar ini dilakukan oleh perwakilan
negara-negara dalam forum internasional melalui proses yang panjang dan
dalam kurun waktu yang cukup lama. Proses pembentukan ini tidak hanya
membahas bentuk dan substansi dari rancangan deklarasi dan perjanjian
yang akan disepakati tetapi juga dibahas secara detail pasal per pasal
dan kata perkata dari isi perjanjian yang kemudian disepakati menjadi
perjanjian internasional oleh negara-negara.
Dalam
sistem PBB, setiap perwakilan dari anggota PBB diundang untuk melakukan
persiapan dan negosiasi terkait dengan pembentukan standar HAM
internasional. Hal ini dilakukan agar semua pandangan dari berbagai
negara dengan sistem hukum yang berbeda dapat diakomodasi dalam
rancangan perjanjian atau deklarasi. Dalam membahas racangan tersebut
dilakukan penelitian yang mendalam dan perdebatan yang panjang sampi
disepakati teks akhir dari perjanjian dan deklarasi. Walaupun pada
akhirnya seperti dalam perjanjian internasional masih dibutuhak tindakan
lebih lanjut dari negara-negara untuk menandatangani, mesahan atau
mengsksesi dan mentransformasikannya ke dalam hukum nasional dari
perjanjian tersebut.
Beberapa Badan PBB yang terkait dengan Penegakan Hukum dan Pembentukan standar HAM Internasional:
a. Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly)
Majelis
Umum PBB merupakan salah satu organ utama dari PBB yang setiap negara
anggota PBB terwakili di dalamnya. Kewengan dari Majelis Umum PBB yang
terkait dengan HAM adalah membuat rekomendasi dalam bentuk resolusi,
yang diantaranya menghasilkan Resolusi A/RES/217, tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan kewenangan untuk membuat organ tambahan (subsidiary organs) yang kemudian membentuk Dewan Hak Asasi Manusia melalui Resolusi A/RES/60/251.
b. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (United Nations Economic and Social Council)
Dewan
Ekonomi dan Sosial PBB, seperti halnya Majelis Umum PBB, merupakan
organ utama dari PBB. Tugasnya adalah memberikan bantuan kepada Majelis
Umum PBB untuk peningkatan kerjasama dalam bidan ekonomi dan sosial.
Salah satu badan di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial adalah Komisi HAM PBB
(United Nations Commission for Human Rights) yang kemudian digantikan oleh Dewan HAM PBB.
Sebagian besar perjanjian internasional HAM, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights), merupakan perjanjian yang dihasilkan oleh organ PBB ini.
c. Dewan Hak Asasi Manusia (United Nations Human Rights Council)
Dewan
HAM PBB, merupakan organ PBB yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis
Umum PBB A/RES/60/251, yang menggantikan posisi dari Komisi HAM PBB.
Tugas utamanya adalah melakukan tindak lanjut terhadap pelanggaran HAM
yang terjadi di dunia. Kedudukan Dewan HAM adalah sebagai badan tambahan
dari Majelis Umum PBB.
d. Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM (Sub-Commission on Promotion dan Protection of Human Rigths)
Sub
Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM adalah badan dibawah Dewan HAM
yang bertugas melakukan penelitian atas perlakuan yang tidak adil dan
membuat rekomendasi bahwa HAM dapat terlindungi secara hukum. Sub Komisi
ini terdiri atas 26 ahli HAM.
e. Pertemuan Berkala mengenai Pencegahan Tindak Pidana dan Penanganan Pelaku Tindak Pidana (Periodic Congresses on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders)
2. Sumber Hukum Internasional HAM
Norma
dan standar HAM berasal dari hukum internasional. Sumber hukum
internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Piagam
Mahkamah Internasional terdiri dari 3 sumber utama dan 2 sumber
tambahan. Sumber hukum tersebut adalah:
a. Hukum Perjanjian Internasional
Perjanjian
internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh anggota masyarakat
internasional yang terdiri dari negara-negara, bertujuan untuk membentuk
hukum sehingga mempunyai akibat hukum. Bentuknya dapat berupa kovenan,
konvensi, perjanjian dan lain-lain.
b. Hukum Kebiasaan Internasional
Kebiasaan internasional (Customary International Law) adalah kebiasaan internasional antar negara-negara di dunia, merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai ‘hukum’.
c. Prinsip Hukum Umum
Prinsip
Hukum Umum adalah asas hukum umum yang terdapat dan berlaku dalam hukum
nasional negara-negara di dunia. Prinsip ini mendasari sistem hukum
positif dan lembaga hukum yang ada di dunia.
d. Putusan Hakim
Putusan
pengadilan internasional merupakan sumber hukum tambahan dari tiga
sumber hukum utama di atas. Keputusan pengadilan ini hanya mengikat para
pihak yang bersengketa saja. Namun demikian, keputusan tersebut dapat
digunakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai
suatu perkara, yang didasarkan pada tiga sumber hukum utama di atas.
e. Pendapat para ahli hukum internasional
Pendapat
ahli hukum internasional yang terkemuka adalah hasil penelitian dan
tulisan yang sering dipakai sebagai pedoman untuk menemukan apa yang
menjadi hukum internasional. Meskipun demikian, Pendapat tersebut bukan merupakan suatu hukum.
Dalam hukum
internasional sebagaimana juga dalam hukum HAM internasional terdapat
beberapa bentuk produk hukum, diantaranya adalah:
a. Resolusi
adalah keputusan yang diambil oleh suatu badan dalam organisasi
internasional dalam hal ini adalah PBB. Di PBB terdapat dua resolusi
yang sangat penting, pertama adalah resolusi yang
dihasilkan oleh Majelis Umum PBB. Resolusi ini tidak mempunyai kekuatan
hukum walaupun ada beberapa Resolusi yang cukup otoritatif seperti
Resolusi tentang DUHAM. Kedua resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan
Keamanan PBB. Resolusi Dewan Keamana PBB mempunyai kekuatan hukum,
dimana negara anggota PBB harus mengikuti isi dari resolusi yang
dikeluarkan oleh DK PBB.
b. Konvensi
adalah perjanjian internasional yang jelah mempunyai kekuatan hukum.
Konvensi mempunyai nama yang bermacam-macam seperti Kovenant, Pakta,
Agreement, Charter (Piagam) dan lain-lain.
c. Protocol
dan Annex adalah penjelasan atau aturan lebih lanjut dari Konvensi atau
perjanjian internasional. Protokol dan Annex tidak berdiri sendiri
dalam pelaksanaannya, karena terkait erat dengan perjanjian induknya.
3. Instrumen Hukum HAM
Dalam
Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi,
melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia secara
universal ditegaskan secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1
(3):
”Untuk
memajukan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah
internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan
menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis
kelamin, bahasa atau agama …”
Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:
a. Instrumen Hukum yang Mengikat
· Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
merupakan langkah besar yang diambil oleh masyarakat internasional pada
tahun 1948. Norma-norma yang terdapat dalam DUHAM merupakan norma
internasional yang disepakati dan diterima oleh negara-negara di dunia
melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM
yang dirancang dalam bentuk umum dan merupakan sumber utama pembentukan
dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan realisasi dari
hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam PBB, misalnya (yang terkait
dengan penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10 dan 11. Pasal-pasal
tersebut secara berturut-turut menetapkan hak untuk hidup; hak atas
kebebasan dan keamanan diri; pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia;
pelarangan penangkapan sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas
praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah; serta pelarangan hukuman
berlaku surut. Secara keseluruhan, DUHAM merupakan pedoman bagi penegak
hukum dalam melakukan pekerjaannya.
· Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)
Hak-hak
dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara
internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai:
- Hak hidup;
- Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi atau direndahkan martabat;
- Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
- Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual;
- Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan peradilan; dan
- Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia turut mengaksesinya[1] atau pengesahannya melalui
Undang-Undang No. 12 tahun 2005, sehingga mengikat pemerintah beserta
aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi oleh Komite Hak Asasi
Manusia.
· Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005 mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam Kovenan ini adalah :
- Hukum
berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan
budaya masyarakat.
- Asumsi
bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam
pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi
terdapat prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap penghilangan
paksa.
- Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu yang saling terkait satu sama lain.
Seperti
halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam
pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya).
· Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide)
Kovensi
ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu
pelanggaran HAM berat. Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai
kejahatan internasional dan menetapkan perlunya kerjasama internasional
untuk mencegah dan menghapuskan kejahatan genosida.
· Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang
Penyiksaan) mulai berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan
Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih
lanjut mengenai apa yang terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan
Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah
legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya
guna: 1) mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler),
atau pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan
yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam
keadaan bahaya (karena menjadi sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar
setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu
wilayah kewenangan hukum mempunyai hak untuk mengadu, memastikan agar
kasusnya diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang berwenang secara
tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya
dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat
dari pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan, 4) menjamin korban
memperoleh ganti rugi serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi yang adil
dan layak. Konvensi ini dalam pelaksanaannya diawasi oleh Komite
Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan aturan yang
terdapat didalamnya.
· Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
Konvensi
ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui
UU No. 29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk
diskriminasi rasial dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang
untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna
kulit, asal usul dan suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite
Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang mengawasi pelaksanaannya.
· Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)
Kovensi
ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia
melalui UU No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah
menjadi instrumen internasional yang menghapuskan diskriminasi terhadap
perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sipil.
Konvensi ini mensyaratkan agar negara melakukan segala cara
yang tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu kebijakan
yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan HAM dan kebebasan dasar
berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam
pelaksanaannya, Konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan Komite
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
· Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Konvensi
Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh Indonesia
melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus
menghormati dan menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau
pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara juga harus
mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak
dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan
pada status, kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan orang
tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga
membentuk Komite Hak Anak (CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi
Konvensi.
· Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees )
Konvesi
ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi
ini walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan
dengan istilah “internaly displaced person” atau pengungsi yang berpindah daerah dalam satu negara. Pengungsi dalam konvensi ini didefinisikan
sebagai mereka yang meninggalkan negaranya karena takut disiksa atas
alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau keanggotaan pada
kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang karena ketakutan.
Kovensi Pengungsi menentukan empat prinsip HAM dalam menangani
pengungsi, yaitu: persamaan hak, tidak adanya pengasingan terhadap
hak-hak mereka, universalitas dari hak-hak mereka, serta hak untuk
mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman.
b. Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat
· Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials)
Majelis Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169 tentang Pedoman
Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan bagi
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Terdapat delapan pasal yang
mengatur mengenai tanggung jawab penegak hukum yaitu, perlindungan HAM,
penggunaan kekerasan, penanganan terhadap informasi rahasia, pelarangan
penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat manusia, perlindungan kesehatan tahanan,
pemberantasan korupsi, serta penghargaan terhadap hukum dan
undang-undang.
· Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials)
Prinsip-prinsip
ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa penggunaan
kekerasan dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta
sesuai dengan tugas pokok maupun fungsi yang diatur oleh peraturan
perundangan.
· Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance)
Deklarasi
ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1992. Di dalamnya
terdapat 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai pencegahan
tindakan penahanan tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Deklarasi ini mensyaratkan adanya
langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, maupun langkah-langkah
efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan tindakan penghilangan
paksa.
· Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence against Women)
Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi mengenai
Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak
dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta
menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin
pelaksanaannya. Deklarasi ini menjadi dasar dalam penyusunan rancangan
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
· Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)
Deklarasi
ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Deklarasi Pembela
HAM memberikan perlindungan bagi para pembela HAM dalam melakukan
kegiatan mereka. Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru tetapi lebih
pada memberikan panduan bagi para pembela HAM terkait dengan pekerjaan
mereka. Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam pemenuhan HAM, serta
tanggung jawab yang harus dilakukan oleh para pembela HAM, disamping
juga menjelaskan hubungan antara HAM dan hukum nasional suatu negara.
Ditegaskan agar para pembela HAM melakukan aktivitasnya dengan cara-cara
damai.
· Prinsip-prinsip tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir (Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal, Arbitrary and Summary Executions )
Prinsip-prinsip tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan
prinsip-prinsip yang direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB
pada bulan Mei 2003. Prinsip-prinsip ini memberikan panduan bagi
penegak hukum dalam mengadili para pelaku tindak pidana. Prinsip-prinsip
ini menekankan pentingnya pengawasan (termasuk kejelasan dalam rantai
komando) terhadap lembaga-lembaga penegak hukum. Prinsip-prinsip ini
juga mejelaskan secara rinci mengenai jaminan terhadap pemenuhan hak
untuk hidup.
4. Pengawasan terhadap Pemenuhan HAM
Pengawasan
HAM dibagi dua, yaitu pengawasan di tingkat nasional dan tingkat
internasional. Di tingkat nasional, pengawasan dilakukan antara lain
oleh:
· Lembaga pemerintah termasuk Polisi;
· Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan dan Komnas Anak;
· Lembaga Swadaya Masyarakat;
· Pengadilan;
· Dewan Perwakilan Rakyat;
· Media Masa;
· Organisasi Profesi seperti IDI dan Peradi;
· Organisasi Keagamaan;
· Pusat Kajian di Universitas.
Adapun pengawasan di tingkat internasional atau PBB didasarkan pada perjanjian internasional mengenai HAM:
Perjanjian Hak Asasi Manusia (Instrumen)
|
Badan Pengawas Pelaksanaan Perjanjian
|
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
|
Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Committee on Economic Social and Cultural Rights)
|
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)
|
Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee)
|
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras
|
Komite Penghapusan Diskriminasi Ras (Committee on Elimination Racial Discrimination)
|
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)
|
Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on Eliminations Discrimination Against Women)
|
Konvensi
menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kenjam,
Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
|
Komite Menentang Penyiksaan (Committee on Against Torture)
|
Konvensi Hak Anak ( Convention on the Rights of the Child)
|
Komite Hak Anak (Committee on Rights of the Child)
|
Setiap perjanjian internasional HAM mempunyai
sistem pengawasan yang berbeda-beda. Walaupun sistem pengawasan dari
setiap konvensi mengenai HAM berbeda-beda tetapi satu dengan yang
lainnya saling melengkapi. Pengawasan ini berfungsi untuk
mengiventarisasi secara periodik dan sistematik terhadap kemajuan yang
telah dicapai oleh negara-negara terkait dengan pelaksanaan kewajiban
yang terdapat di dalam konvensi. Pengawasan ditujukan agar terjadi
dialog antara komite HAM terkait dengan negara-negara peserta yang
bertujuan untuk membantu transformasi konvensi HAM internasional kedalam
perundang-undangan nasional serta membantu pelaksanaan kewajiban yang
harus dilakukan oleh negara. Dialog ini dilakukan secara terbuka antara
Komite dan wakil dari negara.
2. MENGITEGRASIKAN INSTRUMEN HUKUM HAM INTERNASIONAL KE DALAM HUKUM NASIONAL
1. Teori Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Dalam Pasal 27 dari Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional (the Law of the Treaties)
ditegaskan bahwa negara tidak dapat menjadikan hukum nasionalnya
sebagai alasan untuk tidak dapat menjalankan kewajiban perjanjian
internasional. Pada sisi lain negara mempunyai kebebasan untuk
menentukan acuannya dalam melaksanakan kewajibannya dalam hukum
internasional dan menyesuaikan hukum nasionalnya dengan hukum
internasional. Walaupun dalam sistem hukum
internasional dan sistem nasional terdapat perbedaan yang sangat jelas,
tetapi juga terdapat kesamaan pada sisi lain, untuk itu maka sebaiknya aparat penegak hukum, sebagai bagian dari negara, harus mengetahui dengan baik bagaimana hubungan antara hukum internsional dengan hukum nasional negara yang bersangkutan.
Terdapat
dua teori untuk menjelaskan hubungan antara hukum internasional dan
hukum nasional, agar negara dapat menyesuaikan hukum nasionalnya dengan
kewajibannya di dalam hukum internsional. Kedua teori terseubut adalah
sebagai berikut:
1. Teori monisme, didasarkan pada pemikiran bahwa hukum nasional dan hukum internasional adalah satu kesatuan sistem hukum. Dengan demikian maka jika suatu negara telah meratifikasi dan menjadi
pihak dalam perjanjian internasional untuk melindungan HAM, maka secara
otomatis perjanjian internasional itu menjadi hukum nasionalnya.
2. Teori dualisme, didasarkan pada pemikiran bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.
Sehingga untuk menerapkan hukum internasional yang melindungi HAM,
misalnya, ratifikasi saja tidak cukup, perlu adanya suatu transformasi
hukum internasional ke dalam hukum nasional, yang biasanya dilakukan
melalui undang-undang yang dibuat oleh parlemen.
Dalam menerapkan kedua teori tersebut negara dapat memprakteknya dalam berbagai macam cara untuk menjadi hukum nasional, diantaranya adalah:
1. Konstitusi,
dengan menyebutkan perlindungan HAM dalam pasal-pasal yang ada di dalam
undang-undang dasar yang diambil dari DUHAM, ICCPR atau ICESCR;
2. Perundang-undangan
nasional, mengeluarkan undang-undang mengenai HAM yang menjelaskan
lebih terperinci mengenai HAM yang ada di dalam konstitusi;
3. Inkorporasi,
dengan menjadikan perjanjian internasional mengenai HAM menjadi hukum
nasionalnya sehingga segala hak dan kewajiban yang ada dalam hukum
internasional menjadi hak dan kewajiban di dalam hukum nasionalnya.
Praktek ini biasa dilakukan olen negara Inggris;
4. Pemberlakuan
secara langsung, perjanjian internasional mengenai HAM langsung menjadi
hukum nasional setelah negara yang bersangkutan menyatakan ratifikasi
atas perjanjian internasional tersebut;
5. Interpretasi dalam sistem common law,
dalam penerapan prinsip ini hakim dapat mendasarkan putusannya pada
interpretasi atas hukum HAM internasional atau yurisprudensi kasus-kasus
HAM diputus oleh pengadilan internasional;
6. Jika
terdapat kekosongan hukum, dibeberapa negara, jika terjadi kekosongan
hukum mengenai HAM, hakim dan advokat dapat mendasarkan pada hukum
internasional, putusan kasus-kasus internasional atau pada kasus-kasus
dari negara lain untuk dapat menerapkan prinsip dasar dari HAM. Tetapi
hal ini sangat bergantung pada situasi dan kondiri hukum dari negara
yang bersangkutan.
2. Praktik Pengitegrasian Perjanjian Internasional ke dalam Hukum Nasional di Indonesia
Di
Indonesia pratik pengesahan atau pemberlakuan hukum internasional ke
dalam hukum nasional di dasarkan atas Undang Undanga No. 24 tahun 2000
mengenai Perjanjian Internasional. Indonesia adalah negara yang menganut
paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun
2000, dinyatakan bahwa,
”Pengesahan
perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan undang-undang atau keputusan presiden.”
Dengan
demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional
indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia
memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem
hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.
Perjanjian
internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam
bentuk peraturan perundang-undangan melalui undang-undang yang dibuat
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau dengan keputusan presiden.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
- masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
- perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
- kedaulatan atau hak berdaulat negara
- hak asasi manusia dan lingkungan hidup
- pembentukan kaidah hukum baru
- pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Perjanjian
internasional yang tidak disebutkan di atas dapat disahkan melalui
keputusan presiden, tanpa perlu adanya persetujuan dari parlemen.
Dengan
demikian pemberlakuan perjanjian internasional mengenai HAM kedalam
hukum internasional perlu adanya pengesahan dari parlemen agar dapat
ditransformasikan ke dalam hukum nasional Indonesia.
3. HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM NASIONAL
1. Latar Belakang
Negara
(termasuk di dalamnya Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya)
dalam melaksanakan tindakan-tindakannya harus dilandasi oleh peraturan
hukum sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Negara
bertanggung jawab terhadap keamanan, ketertiban, perlindungan hak-hak, kesejahteraan dan kecerdasan seluruh warganya. Sifat dari negara hukum adalah dimana alat-alat perlengkapan negara bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
· Pengakuan dan perlindungan HAM;
· Peradilan yang bebas dan tidak memihak;
· Didasarkan pada rule of law.
Dengan
demikian, dalam negara hukum harus ada jaminan dan perlindungan HAM
yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum dan bukan berdasarkan
kemauan pribadi atau kelompok.
Indonesia
sebagai negara hukum mempunyai kewajiban untuk melindunga HAM warganya,
hal ini tertuan dalam Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang asli.
Walaupun tidak secara langsung terdapat kata-kata HAM tetapi dari
beberapa bagian baik dalam pembukaannya dan batang tubuhnya dinyatakan
bahwa HAM dijamin dalam UUD 1945. Hak-hak tersebut adalah hak
semua bangsa untuk merdeka (alinea pertama pembukaan), hak atas
persamaan di hadapan hukum dan dalam pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)),
hak atas pekerjaan (Pasal27 ayat (2)), hak atas penghidupan yang layak
(Pasal 27 ayat (2)), kebebasan berserikat dan berkumpul (pasal 28),
kebebasan mengeluarkan pendapat (pasal 28), kebebasan beragama (Pasal 29
ayat (2)), dan hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1)).
Dalam
sejarah Indonesia, ketika Indonesia baru saja diakui sebagai negara
oleh Belanda, bentuk dari negara Indonesia berubah menjadi Republik
Indonesia Serikat (RIS) selama tahun 1949-1950. Di dalam Konstitusi RIS
ini setidak-tidaknya terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai HAM
secara eksplisit sebanyak 35 pasal dari 197 pasal yang ada. HAM dalam
Konstitusi RIS diatur dalam Bab V yang berjudul “Hak-hak dan
Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia”. Namun hal ini hanya berlaku selama
8,5 bulan karena Indonesia kembali kepada negara kesatuan dan
ditetapkanya UUD Sementara RI.[8]
Setidaknya
kemajuan yang sama, secara konstitusional, juga terdapat dalam-Undang
Dasar Sementara RI (UUDSRI) dengan kembalinya Indonesia menjadi negara
kesatuan. Terdapat 38 pasal dalam UUDSRI, 1950 (dari keseluruhan 146
pasal, atau sekitar 26 persen) yang mengatur HAM. HAM diatur dalam
Bagian V tentang “Hak-hak dan Kebebasan Dasar Manusia”. Namun hal ini
hanya berlansung dari 15 Agustus 1950-4 Juli 1959.[9]
Dengan Dekrit Presiden 1959 yang mengembalikan konstitusi Indonesia
kembali kepada UUD 1945 yang berlansung sampai dengan pemerintahan Orde
Baru.
Pemerintahan Orde Baru sejak 1993 mulai tampak memperhatikan masalah HAM. Diantaranya adalah melalui GBHN
maupun pelembagaan HAM melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993. Pada tahun
1998 Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) dicanangkan
melalui Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998, yang kemudian
diperbaharui dengan Keputusan Presiden No. 40 tahun 2004.
Langkah-langkah ini kemudian diikuti dengan ratifikasi Konvensi Anti
Penyiksaan melalui UU No. 5 tahun 1998 dan Konvensi Anti Diskriminasi
Ras melalui UU No. 29 tahun 1999.
Langkah-langkah yang telah diambil tersebut diperkuat dengan
· TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tertanggal 13 November 1998, yang disusul dengan ditetapkannya
· UU
No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia oleh Presiden dan DPR
sebagai undang-undang ”payung” bagi semua peraturan perundang-undangan
yang telah ada maupun peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk
kemudian. Pemberlakuan beberapa peraturan perundang-undangan dan
pesahkanan beberapa konvensi internasional mengenai HAM menunjukkan
bahwa secara de jure pemerintah telah mengakui HAM yang bersifat universal.
· Perkembangan
selanjutnya adalah diundangkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya yang termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 118, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557,
serta
· Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik yang termuat dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4558. Hal tersebut memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat yang mendambakan penegakan hak-hak asasinya.
Dalam
UU No. 39 tahun 1999 Pasal 104 ayat (1) dinyatakan bahwa perlu dibentuk
pengadilan HAM untuk mengadili para pelanggar HAM yang berat. Hal
tersebut diwujudkan dengan ditetapkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia oleh Presiden dan DPR untuk mengadili
pelanggar HAM yang berat.
Perubahan kedua UUD 1945 Bab XA juga memuat mengenai HAM yang terdiri dari 10 pasal (Pasal 28A -28J).
Ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam perubahan kedua UUD 1945 tersebut
merangkum ketentuan yang terdapat dalam 106 pasal UU No. 39 tahun 1999,
sehingga menjadikan HAM sebagai hak-hak konstitusional. Namun demikian,
berhasil tidaknya penegakan HAM di Indonesia sangat bergantung pada
penegakan hukum, termasuk didalamnya fungsi aparat penegak hukum.
2. Instrumen Hukum HAM Nasional
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan
asas-asas tentang pengakuan negara terhadap HAM, bahwa setiap individu
dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama, dikaruniai akal
dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Adapun HAM dan kebebasan dasar manusia dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1. Hak Hidup (Pasal 9);
2. Hak untuk Berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10);
3. Hak Mengembangkan Diri (Pasal 11-16);
4. Hak Memperoleh keadilan (Pasal 17-19);
5. Hak Kebebasan Pribaditurut serta dalam Pemerintahan (Pasal 20-27);
6. Hak atas Rasa Aman (Pasal 28-35);
7. Hak atas Kesejahteraan (Pasal 36-42);
8. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (Pasal 43-44);
9. Hak-hak Perempuan (Pasal 45 – 51);
10. Hak-hak Anak (Pasal 52 -66).
UU
No. 39 tahun 1999 mengatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah
dalam penegakan HAM di Indonesia, sehingga pemerintah selalu
memperhatikan hak-hak masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan.
Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah adalah menghormati, melindungi,
menegakkan, dan memajukan HAM. Hal ini meliputi langkah implementasi
yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam
dan lain-lain.
Selain dari HAM yang diatur dalam UU No. 39 tahun 1999, terdapat juga pengaturan kewajiban dasar manusia, yaitu:
1. Setiap
orang wajib patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, hukum
tidak tertulis dan hukum internasional mengenai HAM;
2. Kewajiban warga negara wajib turut serta dalam upaya pembelaan negara;
3. Kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain;
4. Kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
yg beri koment dpt phala bsar!!aminn,,hehe :)
jgn spam ya,pliss